Warna iman tetap menonjol dan utama, namun dalam peristiwa penyaliban
Yesus terdapat nuansa politik yang begitu kental. Tidak bisa dipungkiri
bahwa secara historis, kematian Yesus di kayu salib merupakan hasil
persengkongkolan politisasi agama antara para pemuka agama Yahudi dengan
para penguasa Romawi di bawah komando pimpinan Pontius Pilatus.
Dapat
dikatakan secara politis, bahwa Yesus disalibkan sebagai seorang
subversif, pemberontakan dan perampok. Atas persengkongkolan tersebut,
maka Yesus diadili dan dihukum mati dan salibkan sebagai tahanan
politik. Citra subversif dikenakan kepada Yesus antara lain atas fakta
sosial, dimana Yesus mengusir orang-orang yang berjual beli di Bait
Allah.
“Lalu tibalah Yesus dan murid-murid-Nya di Yerusalem.
Sesudah Yesus masuk ke Bait Allah, mulailah Ia mengusir orang-orang yang
berjual beli di halaman Bait Allah. Meja-meja penukar uang dan
bangku-bangku pedagang merpati dibalikkan-Nya, dan Ia tidak
memperbolehkan orang membawa barang-barang melintasi halaman Bait Allah.
Lalu Ia mengejar mereka, kata-Nya : Bukanlah ada tertulis; Rumah-Ku
akan disebut rumah doa bagi segala bangsa? Tetapi kamu ini telah
menjadikannya sarang perjamuan” (Markus 11:15-17).
Dalam Injil
dikisahkan, bahwa Yesus mengusir orang dari Bait Allah pada hari Paskah
Yahudi. Yang diusir adalah mereka yang secara ekonomis berbisnis dengan
menyusahkan rakyat di Bait Allah. Yakni para penukar uang, para penjual
binatang kurban, dan orang-orang yang berduit dikuasai oleh para pemuka
agama Yahudi yang mendominasi perayaan Paskah Yahudi. Secara agamis,
perayaan Paskah Yahudi adalah mengenang pembebasan Israel dari Mesir.
Dapat
dikatakan adalah hari kemerdekaan, yang dirayakan saat mereka sendiri
sedang dijajah penguasa Romawi, menjadi sebuah ajang demonstrasi yang
dapat membahayakan stabilitas nasional. Tindakan Yesus yang mengusir
orang-orang yang berjualan di Bait Allah, pasti telah menimbulkan huru
hara secara sosial.
Didukung oleh kesaksian palsu yang dirancang
oleh para pemuka yahudi, sebagai dalang kerusuhan di Bait Allah,
provokasi anti pajak dan pengakuan diri-Nya sebagai raja, Yesus
diserahkan kepada penguasa politik Romawi agar disalibkan dengan tuduhan
subversif. Dengan demikian akibat dari iri hati dan sakit hati
dialihkan menjadi tuduhan subversif. Demikianlah Yesus mati disalibkan
dengan strategi politik, sebagai korban dendam, kebencian, dan
permusuhan para pemimpin agama Yahudi kepada-Nya.
Yesus berpihak kepada Rakyat Miskin
Sejak
awal penampilan Yesus di muka umum, para pemuka agama Yahudi,
orang-orang Farisi, Imam-Imam Yahudi, dan Ahli Taurat, bersepakat untuk
membunuh Yesus. Ajaran Yesus menjadi pedang bagi mereka yang
mendengarkannya, karena memuat kritik tajam bagi mereka yang menikmati
status quo keagamaan dan pemerintahan yang tidak ada keadilan (tidak
berlaku adil).
Dalam sikap kritik tajam, Yesus selalu berpihak
kepada rakyat (umat) yang miskin. Dalam pengolahan dan perubahan dalam
bidang sosial, ekonomi, keagamaan, masa rawan dan kerusuhan. Dalam
situasi itulah, Yesus secara kritis menyoroti keberuntungan
kelompok-kelompok elit-religius dan politik yang kontradiktoris dengan
kenyataan kemiskinan rakyat.
Secara sosial, masyarakat Kristen
adalah mayoritas tertindas, seperti yang kita alami sekarang, namun
Yesus tetap menjadi jawaban yang adil(2 Korintus 4:8-9). Dalam situasi
dan strata sosial seperti itu, pada masa Yesus daerah Palestina atau
Israel menjadi ajang kerusuhan para penguasa dan penjajah Romawi. Pada
masa itu Yesus mengembangkan sikap radikal berpihak kepada kaum miskin
dan marginal.
Kata “miskin” merupakan istilah komprehensif bagi
semua kategori orang yang disingkirkan dalam masyarakat, mereka yang
mengenal dalam establishment Yahudi. Termasuk didalamnya orang-orang
sakit, buta, lapar, pendosa, pemungut cukai, tawanan, golongan rendah
dan para pelacur. Yesus berpaling dan memihak mereka, sebab bukan
kesalahan mereka terjerat dalam kemiskinan.
Salib Yesus adalah
puncak pembelaan setiap insan yang dibelenggu oleh penderitaan, dalam
perspektif ini, kematian Yesus disalib, meskipun dengan materei
politis-traumatik, justru inilah tetap menjadi relevan sepanjang zaman,
juga bagi bangsa kita umat Kristiani, dalam menghadapi situasi dan
kondisi sekarang ini.
Yesus Kristus tidak memihak
Rasul Paulus
berkata dalam (Kisah Para Rasul 10:34) “Sesungguhnya aku telah
mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang”. Selanjutnya Paulus,
berkata; (Roma 2:11) “Sebab Allah tidak memandang bulu”. Dalam (Efesus
6:9) Paulus, berkata; Dan kamu tuan-tuan perbuatlah demikian juga
terhadap mereka dan jauhkanlah ancaman. Ingatlah bahwa Tuhan mereka dan
Tuhan kamu ada di Surga dan Ia tidak memandang muka.
Ayat ini
membuktikan bahwa Tuhan tidak memihak. Dalam (1 Timotius 6:16)
menyatakan bahwa Allah adalah satu-satunya yang tidak takluk kepada
maut”. Secara harafiah, kata Yunani untuk tidak takluk kepada maut
adalah Athanasia, yang berarti tidak binasa menunjukkan bebas dari maut.
Hanya Tuhan yang tidak takluk kepada maut.
No comments:
Post a Comment